V. TITIK-TITIK RAWAN KECURANGAN DALAM PROSES PEMILU

 

Kecurangan dalam Pemilu selama ini dapat bersumber dari beberapa hal berikut:

 

5.1. Sistem Pemilu

Pemilu diatur dalam serangkaian peraturan yang berupa undang-undang (UU) beserta peraturan pelaksanaannya. Peraturan perundang-undangan tersebut antara lain:

  1. UU No. 15/1969 tentang pemilihan umum sebagaimana telah beberapa kali diubah dan terakhir dengan UU No. 1/1985. Peraturan pelaksanaannya adalah PP No. 35/1985 tentang pelaksanaan UU Pemilu sebagaimana telah diubah beberapa kali dan terakhir dengan PP No. 74/1996.
    Berdasarkan undang-undang dan peraturan pelaksanaannya itu, penyelenggara Pemilu mulai dari LPU, panitia pemilihan (PPI, PPD I dan II, PPS, KPPS, dan TPS), serta panwaslak didominasi oleh birokrasi pemerintahan yang nyata-nyata memihak kepada Golkar. Demikian pula ketentuan penelitian khusus (litsus) terhadap calon legislatif (caleg) yang diatur dalam PP (bukan UU Pemilu) menjadi penghambat bagi caleg dari dua OPP lainnya.
  2. UU No. 3/1975 tentang Parpol dan Golkar sebagaimana telah diubah berdasarkan UU No. 3/1985. UU ini paling tidak mengandung dua kelemahan, yakni:
    Pertama, membatasi partai politik hanya tiga sehingga bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28 yang mengamanatkan "kemerdekaan berserikat dan berkumpul."
    Kedua, memberi kewenangan kepada Presiden/Mendagri untuk melakukan pengawasan terhadap parpol dan Golkar sehingga membuka campur tangan pemerintah secara berlebihan atas parpol.
    Selain kelemahan, UU tersebut juga membuka peluang bagi terjadinya kecurangan. Misalnya:
  3.  

    Pertama, ketentuan mengenai "masa mengambang" yang pada dasarnya bertujuan menghindarkan rakyat lapisan bawah dari kegiatan politik dan memfokuskan pada upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan, ternyata disalahgunakan untuk menguntungkan OPP tertentu dengan memanfaatkan jalur birokrasi dan menghambat kegiatan-kegiatan politik dua OPP lainnya.

     

    Kedua, pasal 8 ayat (2) UU tersebut yo PP No. 20/1976 tentang keanggotaan Pegawai Negeri Sipil dalam Parpol atau Golkar juga membuka peluang terjadinya kecurangan. Kecurangan tersebut biasanya terjadi pada saat pegawai negeri yang ingin menjadi anggota parpol selalu mendapat hambatan, sementara yang ingin masuk Golkar lancar-lancar saja.

     

  4. UU No. 16/1969 tentang Susduk MPR/DPR/DPRD sebagaimana telah diubah beberapa kali dan terakhir dengan UU No. 5/1995. Seperti diketahui bahwa selain anggota legislatif yang dipilih juga terdapat anggota legislatif yang diangkat, yakni dari ABRI. Karena ABRI ini berafiliasi ke Golkar melalui jalur ABG maka ketentuan tersebut hanya menguntungkan salah satu OPP, yaitu Golkar.

 


5.2. Panitia Pelaksana

Selain oleh pihak yang berkuasa (ABRI dan aparat keamanan lainnya, aparat birokrasi pemerintah, dan Golkar) pelanggaran atau kecurangan dalam Pemilu juga dilakukan oleh Badan Penyelenggara Pemilu, yang pada hakekatnya juga dibentuk oleh pemerintah. Badan Penyelenggara Pemilu itu antara lain:

  1. Panitia Pendaftaran Pemilih (Pantarlih).
  2. Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
  3. Panitia Pemungutan Suara (PPS).
  4. Panitia Pemilihan Daerah (PPD).
  5. Panitia pengawas Pelaksana Pemilu (Panwaslak).

 

Mereka mau melakukan kecurangan karena antara lain:

 

5.2.1. Money politics:

Permainan uang dalam politik, khususnya pembelian suara, yaitu para pemilih diberikan sejumlah uang atau barang dengan imbalan agar memilih OPP tertentu. Aksi ini sering dikategorikan sebagai "proyek" sehingga sebagian dari dana tersebut dapat masuk ke kantong petugas itu sendiri.

 

5.2.2. Semangat jabatan/kedudukan atau iming-iming hadiah:

Bagi para pejabat tersebut, jabatan adalah segala-galanya. Misalnya, seorang pejabat (kepala desa) agar jabatannya tetap lestari maka yang bersangkutan akan sekuat tenaga untuk memenuhi target suara yang ditentukan oleh atasannya (dalam hal ini camat). Jadi kecurangan yang dilakukan untuk memenangkan Golkar semata-mata bertujuan untuk menyelamatkan jabatannya. Di samping itu, untuk lebih memacu semangat, seringkali pejabat tertentu (kepala desa misalnya) menjanjikan akan memberikan semacam hadiah tertentu bila bawahannya (perangkat kelurahan) dapat memenuhi target suara yang ditentukannya.

 

5.2.3. Takut kena sanksi:

Selain motivasi-motivasi di atas, juga terdapat semacam rasa takut dikenai sanksi oleh atasannya apabila yang bersangkutan tidak dapat memenuhi target yang telah ditentukan atau tidak diikutkan dalam program-program pemerintah, atau dipersulit dalam memperoleh pelayanan publik.

 


 5.3. Pelaksanaan Pemilu

 Tahapan-tahapan yang membuka peluang kecurangan dan bagaimana kecurangan itu dilakukan:

5.3.1. Pendaftaran pemilih:

Kecurangan yang sangat mungkint erjadi dalam tahap ini adalah petugas Pantarlih tidak mendapatar calon pemilih tertentu, dengan alasan-alasan seperti kurangnya kartu pendaftaran, calon pemilih tidak ada di tempat, calon pemilih tidak sepaham dengan pemerintah (misalnya tidak mendukung program pemerintah seperti menolak bertransmigrasi atau menjadi anggota parpol selain Golkar), tidak mempunyai KTP, atau calon pemilih yang menolak didaftar dengan alasan tertentu.

 

5.3.2. Pencalonan Anggota Legislatif:

Pada Pemilu yang lalu, dalam tahap ini terdapat dua kemungkinan untuk bertindak curang, yaitu:

Pertama, pada waktu caleg harus mengikuti penelitian khusus (litsus) oleh aparat keamanan, untuk menentukan apakah calon tersebut tersangka G 30 S/PKI atau organisasi terlarang lainnya.

Kedua, pegawai negeri yang menjadi caleg harus mendapat ijin dari atasannya. PNS yang caleg Golkar biasanya tidak ada masalah, tetapi bagi PNS yang caleg PPP atau PDI sering dihambat dengan berbagai alasan, misalnya yang bersangkutan adalah tenaga inti sehingga tenaganya diperlukan diinstalasinya.

 

5.3.3. Kampanye:

Dalam tahap ini kecurangan yang paling mencolok dilakukan Golkar adalah mencuri start, yaitu Golkar sudah melakukan kampanye sebelum waktunya untuk berkampanye. Alasan yang paling sering dipakai untuk berkampanye terselubung itu adalah alasan penggalangan kader dan ijin untuk itu selalu mulus. Sementara bagi parpol yang ingin melakukan kegiatan serupa seringkali ijinnya dipersulit. Selain itu dalam melakukan penggalangan, kader Golkar yang kebetulan pejabat pemerintahan menggunakan fasilitas negara.

 

5.3.4. Pemungutan dan Penghitungan Suara:

Pertama, permainan surat suara, yaitu surat suara yang diberikan kepada pemilihh diberi kode tertentu sehingga mudah untuk memonitor dan mengetahui apa yang mejadi pilihan orang itu. Tindakan ini selain menyebabkan Pemilu sudah tidak LUBER lagi, juga dimaksudkan menekan pemilih agar memilih gambar tertentu.

Kedua, ditengarai ada paku tersembunyi di tengah-tengah bantal pencoblosan sehingga begitu surat suara mau ditusuk ternyata sudah tertusuk lebih daulu. Bila pemilih mencoblos yang kiri atau kanan maka kartu itu akan termasuk kategori rusak atau tidak sah.

Ketiga, penyalahgunaan kartu AB. Seringkali terjadi pada waktu pemindahan berkas daftar pemilih yang menggunakan kartu AB, nama pemilih di tempat pertama mendaftar tidak dicoret sehingga namanya masih tercantum. Dengan demikian hal itu dimanfaatkan oleh yang bersangkutan atau petugas TPS setempat atau orang lain untuk suara Golkar. Jadi satu orang memberikan suara dua tempat berbeda atau lebih.

Keempat, sisa surat suara. Sangat boleh jadi sisa surat suara ditusuki oleh petugas TPS untuk kepentingan Golkar. Hal itu pernah terjadi di kantor perwakilan Indonesia di Kinabalu, Malaysia. Pemilihannya hanya berjumlah 1,2 juta tetapi jumlah suaranya lebih dari itu. Padahal untuk mencapai 100 persen suara saja sulit karena para pemilih terbesar diberbagai tempat yang sulit, seperti buruh-buruh di perkebunan pedalaman.

 

Pertama, soal pembuatan berita acara penghitungan suara, yaitu terjadi rekayasa tertentu sehingga target suara Golkar di situ terpenuhi. Rekayasa tertentu itu bisa berupa pemberian sejumlah uang kepada para petugas TPS termasuk para saksi atau ditraktir makan di warung agar menyetujui berita acara yang sudah dipersiapkan sebelumnya.

Kedua, saksi. Pada waktu penghitungan suara para saksi ditempatkan pada posisi tertentu sehingga tidak bisa secara jelas melihat kondisi atau keadaan surat suara. Atau para saksi dari parpol dihambat sedemikian rupa (intimidasi atau tindak kekerasan) sehingga tidak dapat hadir dan pada gilirannya digantikan dengan "saksi" lain dari masyarakat yang notabene adalah orang Golkar sendiri.

Ketiga, pengiriman berita acara dan kotak suara dari TPS ke KPPS. Tahap ini juga rawan karena bisa saja ditengah jalan kotak suara yang asli diganti kotak lain atau isi kotak suara ditukar dengan surat suara lain yang sudah dipersiapkan sebelumnya.

Keempat, penghitungan sementara suara untuk tingkat nasional seringkali data yang dimasukkan ke komputer berdasarkan berita pertelepon, bukan berdasarkan data yang tercantum di berita acara perhitungan suara. Jadi jumlah suara yang sesungguhnya tidak akurat.

 

 


5.4. Piranti-piranti Kecurangan

5.4.1. Operasi subuh atau operasi fajar

Biasanya dilakukan pada hari H sebelum pemungutan suara dengan mendatangi para penduduk pada waktu subuh dan menyarankan agar memilih para parpol tertentu serta diberi semacam ongkos dalam jumlah tertentu.

5.4.2. Pendomplengan program pemerintah untuk menarik simpati bagi parpol tertentu (Golkar).
Misalnya melalui program inpres desa tertinggal (IDT), pengentasan kemiskinan (saat ini mungkin dalam program jaring pengaman sosial/JPS), pembinaan penyandang cacat, generasi muda, dan wanita tuna susila (WTS).

5.4.3. Penggunaan fasilitas (sarana dan prasarana) negara
Seperti penggunaan kendaraan dinas yang diganti plat nomornya atau ditutup pakai kertas setiker sehingga menghilangkan identitas/atribut dinas, alat-alat kantor (telepon, komputer, fak, dll.), kedung atau lapangan pemerintah, sampai surat perintah jalan (SPJ) dinas tertentu untuk kampanye atau penggalangan kader.

 


5.5. Masalah Tindak Pidana dalam Pemilu

5.5.1. Tindak pidana Pemilu termasuk dalam Hukum Pidana Politik yang merupakan Hukum Pidana Khusus. Di katakan demikian, karena hukum pidana politik mencakup khusus perundang-undang pidana tentang tegaknya negara dan pemetintahan. Hal ini dibedakan dari Hukum Pidana Umum yang ketentuan-ketentuannya dimuat di dalam KUHP. Hubungan antara Hukum Pidana Umum dan Hukum Pidana Khusus, yaitu bahwa asas-asas Hukum Pidana Umum pada dasarnya berlaku juga bagi Hukum Pidana Khusus tidak menyimpang dari asas-asas umum didalam KUHP. Akan tetapi kalau Hukum Pidana Khusus diatur menyimpang dari KUHP, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan di dalam Hukum Pidana Khusus. Hal nii sesuai dengan asas: "Lex spesialis derogat lex generalis" (hukum yang khusus menyampingkan hukum yang umum).

 

5.5.2. Pasal 1 ayat 1 KUHP berbunyi: "Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan". Dari perumusab ini lahirlah 3 asas di dalam Hukum Pidana sebagai berikut:

a. Bahwa sanksi pidana hanya dapat ditentukan dengan undang-undang;
b. Bahwa ketentuan sanksi pidana tidak boleh berlaku surut.
c. Tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. Pengertian sifat melanggar hukum berarti:

1. Bertentangan dengan hukum (obyektief);
2. Bertentangan dengan hak (subyectief);
3. Tanpa hak.

 

5.5.3. Dalam KUHP ada 5 pasal mengenai tindak pidana "Kejahatan Terhadap Pelaksanaan Kewajiban dan Hak Kenegaraan" yang ada hubungannya dengan pemilihan umum yang diadakan berdasarkan undang-undang:

 Pasal 148

"........dengan sengaja dan dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan, merintangi seseorang melakukan pemilihan dengan bebas; pidana penjara selama-lamanya 1 tahun 4 bulan".

 

Pasal 149

"........menyuap atau berjanji menyuap seseorang agar jangan menggunakan haknnya untuk memilih; pidana penjara selama-lamanya 9 bulan atau denda Rp. 4.500".

"pidana itu juga dijatuhkan kepada penerima suap".

 

Pasal 150

"........melakukan tipu muslihat yang menyebabkan suara pemilih menjadi tidak berharga atau orang yang hendak dipilih menjadi tidak terpilih; pidana penjara selama-lamanya 9 bulan".

 

Pasal 151

"........mengaku sebagai orang lain sehingga melakukan pemilihan beberapa kali; dipidana penjara 1 tahun 4 bulan".

 

Pasal 152

"........dengan sengaja menggagalkan pemungutan suata atau melakukan tipu muslihat sehingga hasil Pemilu menjadi lain dari yang seharusnya; dipidana penjara selama-lamanya 2 tahun.

 

5.5.4. Sedangkan di dalam UU Pemilu (No. 3/1999), ketentuan-ketentuan pidana diatur di dalam 4 pasal, yaitu pasal 72 sampai dengan 75, dnegan perincian perbuatan pidana sebagai berikut:

 

Pasal 72

    1. Dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri sednriri atau orang lain untuk keperluan pengisian daftar pemilih; dipidana penjara paling lama 1 tahun;
    2. Meniru atau memalsu sesuatu surat yang diperlukan dalam Pemilu dengan maksud untuk digunakan sendiri atau orang lain sebagai surat sah dan tidak dipalsukan; dipidana penjra paling lama 5 tahun;
    3. Orang yang mengetahui bahwa sesuatu surat yang dimaksudkan ayat (2) adalah tidak sah atau dipalsukan, mempergunakannya atau menyuruh orang lain mempergunakannya sebagai surat sah dan tidak dipalsukan; dipidana penjara paling lama 5 tahun.

 

Pasal 73

    1. Dengan sengaja mengacaukan, menghalangi atau mengganggu jalannya Pemilu, dipenjara pidana paling lama 5 tahun.
    2. Dengan sengaja dan dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan menghalang-halangi seseorang menggunakan haknya untuk memilih dengan bebas, dipidana penjara paling lama 5 tahun.
    3. Dengan pemberian atau janji menyuap seseorang agar yang bersangkutan tidak menjalankan haknya untuk memilih atau menjalankan haknya yang tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan Pemilu, dipidana penjara paling lama 3 tahun. Pidana itu juga dilaksanakan kepada penerima suap.
    4. Melakukan tipu muslihat yang menyebabkan suara seorang pemilih menjadi tidak berharga atau yang menyebabkan partai tertentu mendapatkan tambahan suara, dipidana penjara paling lama 3 tahun.
    5. Dengan sengaja turut serta dalam Pemilu dengan mengaku dirinya sebagai orang lain, dipidana penjara paling lama 5 tahun.
    6. Dengan sengaja melanggar syarat sebagai calon anggota DPR,DPRD I dan DPRD II sebagaimana dirumuskan pasal 43 ayat (1) huruf f : "bukan bekas anggota organisasi terlarang PKI termasuk ormasnya yang terlibat langsung ataupun tidak langsung dalam G.30.S/PKI".
    7. Memberikan suara lebih dari yang ditetapkan dalam UU Pemilu, dipidana penjara paling lama 5 tahun.
    8. Dengan sengaja menggagalkan pemungutan suara atau melakukan tipu muslihat sehingga hasil pemungutan suara menjadi lain dari seharusnya, dipidana penjara paling lama 5 tahun.
    9. Majikan/atasan yang tidak memberikan kesempatan kepada pekerja tanpa alasan, dipidana penjara paling lama 3 tahun.
    10. Seorang penyelenggara Pemilu yang melalaikan kewajibannya, dipidana kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling tinggi 10 juta.
    11. Memberikan sumbangan dana kampanye melebihi batas yang ditetapkan oleh KPU, dipidana dengan hukuman kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling banyak Rp. 10 juta.

 

Pasal 74

    1. Tindak pidana pasal 72 dan pasal 73 ayat (1) sampai dengan ayat (9) adalah kejahatan.
    2. Tindak pidana pasal 73 ayat (10) dan ayat (11) adalah pelanggaran.

 

Pasal 75

"........dalam menjatuhkan pidana atas perbuatan-perbuatan yang dimaksud pada pasal 72 ayat (2) dan ayat (3), surat-surat dan benda-benda yang dipergunakan dalam perbuatan pidana itu, dirampas dan dimusnahkan."

 

5.5.5. Dengan demikian tampaklah bahwa perbuatan pidana yang dirumuskan di dalam UU Pemilu jauh lebih banuak (14 buah) daripada yang dirumuskan di dalam KUHP (5 buah). Dalam KUHP semua tindak pidana yang berkenaan dengan Pemilu termasuk dalam delik kejahatan, sedangkan tindakan pidana di dalam UU Pemilu dibedakan antara delik kejahatan (12 buah) dan delik pelanggaran (2 buah). Sementara itu ancaman hukum delik kejahatan Pemilu dalam KUHP pada umumnya jauh rendah dari ancaman pidana kejahatan Pemilu dalam UU Pemilu. Sementara itu terdapat 5 perbuatan pidana yang dirumuskan sama baik di dalam KUHP maupun di dala UU Pemilu, akan tetapi ancaman hukumannya berbeda.

  

Perbedaan Ancaman Pidana Atas Tindak Pidana yang Sama di dalam KUHP dan UU Pemilu (No. 3/1999)

Pasal-pasal KUHP dan
UU Pemilu yang sama

Ancaman Pidana KUHP

Ancaman Pidana UU Pemilu

Pasal 148 KUHP = Pasal 73 ayat (2)

selama-lamanya 1 tahun 4 bulan penjara

pidana penjara paling lama 5 tahun

Pasal 149 KUHP = Pasal 73 ayat (3)

pidana penjara paling lama 9 bulan atau denda Rp. 4.500

pidana penjara paling lama 3 tahun

Pasal 150 KUHP = Pasal 73 ayat (4)

pidana penjara paling lama 9 bulan

pidana penjara paling lama 3 tahun

Pasal 151 KUHP = Pasal 73 ayat (5)

pidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan

penjara pidana paling lama 5 tahun

Pasal 152 KUHP = Pasal 73 ayat (8)

pidana penjara paling lama 2 tahun

pidana penjara paling lama 5 tahun

5.5.6. Menurut pasal 1 ayat (2) KUHP: "jika suatu perbuatan dilakukan ada perobahan dalam perundang-undangan dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa". Oleh karena di alam tindak pidana Pemilu, berlaku ketentuan baik yang ada di dalam KUHP maupun di dalam UU No. 3/1999 tentang Pemilu, apakah untuk tindak pidana Pemilu dapat dipakai ketentuan yang paling ringan bagi terdakwa, yaitu ketentuan di dalam KUHP?

Sebaiknya sesuai dengan asas hukum: "Lex spesialis derogat lex generalis" (hukum yang khusus mengenyampingkan hukum yang umum), maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan tindak pidana Pemilu di dalam UU Pemilu.

 

5.5.7. Tindak pidana Pemilu dapat terjadi pada semua proses penyelenggaraan Pemilu. Dlaam hubungan itu lalu dibentyuk Panitia Pengawas. Keanggotaan Panitia Pengawas Tingkat Pusat, Tingkat I dan Tingkat II terdiri dari Hakim. Unsur Perguruan Tinggi dan Unsur Masyarakat. Sedangkan di Tingkat Kecamatan terdiri dari unsur Perguruan Tinggi dan unsur Masyarakat (Pasal 24 UU Pemilu).

Sedang tugas dan kewajiban Panitia Pengawas (pasal 26 UU Pemilu) adalah sebagai berikut:

  1. Mengawasi semua tahapan penyelenggaraan Pemilu;
  2. Menyelesaikan sengketa atas perselisihan yang timbul dalam penyelenggaraan Pemilu;
  3. Menindaklanjuti temuan, sengketa dan perselisihan yang tidak dapat diselesaikan untuk dilaporkan kepada instansi penegak hukum.

Dari perumusan tugas dan kewajiban Panitia Pengawas itu, bukan tidak mungkin berbagai persoalan yang muncul dalam Pemilu, termasuk tindak pidana Pemilu, akan diselesaikan secara musyawarah oleh Panitia Pengawas dan para pihak yang bersengketa. Kalaupun Panitia Pengawas harus menindaklanjuti persoalan yang tidak dapat diselesaikan kepada pihak penegak hukum, berarti kepada Polri yang harus penyelidikan dan penyidikan, pertanyaannya adalah apakah pihak Polri mampu melakukannya?

Kebetulan kedua persoalan ini, yaitu penyelesaian secara musyawarah dan ketidakmampuan aparat kepolisian untuk melakukan penyelidikan tindak pidana Pemilu umumnya tidak sampai ke pengadilan. Mungkinkan nasib tindak pidana Pemilu nanti akan seperti Pemilu-Pemilu yang lalu dalam masa Orde Baru? Kita lihat saja nanti.


  Previous | Top | Next
Bab 1 | Bab 2 | Bab 3 | Bab 4 | Bab 5 | Resume


Berita Pemilu | Parpol | Data Propinsi
Pemantau Pemilu | Panduan Pemantau | Pelanggaran | Checklist
Pemantau Online | E-mail


© 1999 Gerakan Sarjana Jakarta